Masih Pantaskah?

Saat ketulusan untuk mencintai itu tumbuh.
Saat keikhlasan untuk menyayangi itu mulai meranggas.
Haruskah rasa acuh tak acuh mulai berkelana dalam jiwamu yang sepi?


Entah, entah harus berapa kali kuucap kata sayang padamu.
Entah, entah harus berapa banyak perhatian berlebih yang sengaja terpatri untukmu,
Entah, entah harus berapa lembar tulisan akan rasaku tentangmu,
Namun kau tetap diam, membisu.
Namun kau tetap diam, berdiri di sana sambil berkata “Untuk saat ini kita itu teman, tidak lebih”
Tuhan pasti tahu.
Tuhan pasti tahu.
Kecintaanku padamu bukan sekedar cinta belaka.
Kecintaanku padamu bukan sekedar cerita narasi semu.
Kecintaanku padamu bukan sekedar kisah dongeng sang putri yang begitu merindukan pangerannya.
Kecintaanku padamu adalah sebuah rona kemerah-merahan,
yang akan tampak ketika kau menyadari, betapa hatiku menginginkanmu.

Namun, ketika pembalasan itu tak pernah nyata adanya.
Ketika kepastian itu hanya sebuah maya,
Dapatkah aku menghilangkan jejakmu dari saraf-saraf minim otakku?
Dapatkah aku menghapus sisa-sisa kenanganmu dari album kehidupanku?
Sungguh.
Aku tak sanggup.
Betul-betul tak sanggup.
                Filosofi cinta selalu mengarah pada satu kata sederhana, keyakinan. Ya, keyakinanlah yang dapat membuat kita bertahan. Keyakinanlah yang dapat membuat kita percaya bahwa harapan itu ada. Namun, ketika keyakinan itu sudah mulai pudar, sudah mulai blur, dapatkah cinta itu tetap bersemayam dalam kalbu?
                Sambil memikirkan korban pesawat MH370 Malaysia Airlines yang tak kunjung riil kabarnya, aku menulis artikel ini dengan mata berkaca-kaca. Perasaan yang telah lama kuemban, perasaan yang sudah hampir dua tahun menjadi penghuni lubuk-lubuk hatiku, kini mulai tergoyahkan. Bagaikan e-mail masuk yang tiba-tiba saja error entah kenapa, aku mulai mengetik satu demi satu huruf akan semua hasrat yang sedang berkecamuk-ria dalam pikiranku.
Haruskah aku mengakhirinya?
                Pertanyaan yang tak pernah bisa membuat mataku terpejam saat memikirkannya. Kami tak menjalin sebuah hubungan khusus, kami hanya ‘mantan’ yang sekarang tengah berusaha mencari jati diri masing-masing. Kami hanya diikatkan pada sebuah tali pertemanan, yang di dalamnya, sungguh, aku sendiri harus berkata lirih, ada yang beda. Perkataan, tingkah laku, sorot mata, mimik wajah, sungguh berbeda dengan teman-teman yang lain ketika kami jalan bersama. Berbeda dengan Awal yang selalu mengataiku ‘anak SD’ dengan raut mengejeknya yang khas mirip kambing kesetrum, berbeda dengan Fazli yang selalu ingin ma’kandatto kepalaku yang katanya batu dengan logatnya yang masih asli Makassar tulen, berbeda dengan Daus yang sering curhat tentang Ms. S akan segala kelebihannya sambil berucap canda lebar kepadaku, ‘iya, nyet tercinta’. Sedangkan dia?
                Pernah membayangkan akun twitter yang lagi lambat loading? Begitulah dia. Dia bukannya laload, namun sekali lagi, begitulah dia. Bicara hanya jika perlu, dan isi pembicaraan selalu saja merambah sampai ke angan-angan. Bagaikan naik roket Saturn 5 dengan kecepatan 100 kali tahun cahaya, aku dibuai sampai melewati planet mars, jupiter, saturnus, uranus, neptunus, dan pluto yang sudah dikeluarkan dari kategori planet. Keluar dari galaksi Bimasakti, naik ke galaksi Andromea, menuju ke Alpha Centaur sampai ke langit ke-enam, namun belum sampai di langit ketujuh, roket itu tiba-tiba terhempas. Kaku. Mati. Lenyap. Sungguh betul aku tak pernah berani mengatakan cinta, mengatakan sayang, mengatakan rindu padanya jikalau dia sendiri tak pernah mengatakan hal itu sebelumnya kepadaku.
                Tapi itu DULU!
                Sekarang hanya sorotan mata tajam dan genggaman tangan yang entahlah bermakna apa. Yang selalu dititik-beratkan hanyalah suatu keyakinan, dengan dalih “nanti saja kau lihat apa sebenarnya maksudku”. Aku bungkam! Seakan ditikam oleh boneka Chuky dan Annabelle dari belakang! Aku tak bisa mengelak. Aku tak bisa menyeringai. Aku terlalu cinta untuk menuduh bahwa semua itu bohong, dan karena itulah aku menjadi orang paling bodoh yang selalu berharap pada belas kasih orang yang hatinya sudah terbuka untuk orang lain. Amazing!
                Iya apa tidak, sedikit celah-pun mulai terbuka. Jarak yang jauh, komunikasi yang kurang, terlebih hati yang sudah tak saling mengikat, semuanya tak mengherankan untuk semakin menegaskan kalau dia punya yang baru di sana. Entah itu pacar, hts, teman dekat, teman tidak terlalu dekat atau apalah, tak bisa dipisahkan dari satu fakta bahwa: DIA SINGLE! DIA FREE! Sedangkan aku? STUCK!
                Sering sekali ku omeli diriku sendiri dalam hati, diluar omelan Awal saat lomba speech FLS2N; “K***sko itu kau, bisako bahasa Inggris, bakal jadi dokter meko (Amin!), masa gara-gara satu cowokji na begituko?” dan penegasan pakar handalku; “Nad, haram hukumnya kau ingat masa lalu, HARAM! Kau lebih pantas sayang sama orang yang sayangko juga, bukan sama cowok yang suka maini cewek. Dia nda pantas untuk kau, bla bla bla”. Itu semua belum termasuk ocehan Qalby; “Haha, baruko sadar sen? Dari dulu dia memang nda baik buat kau!” ataupun raut kagetan Uming yang seakan tidak percaya dengan segala kepolosannya; “Kenapa bisa begitu A*** nah?”. Mereka hanya secuil teman-teman kecil *eh* yang iba akan diorama perasaanku. Sedangkan aku? Penyesalan tak berujung tak pernah bisa membuat hatiku luluh dan mengikhlaskan dia dengan orang lain. Dalihku iya, nda apa-apaji kalau adami cewek lain, tapi hati? Hati itu seonggok daging yang tak bisa dibohongi! Dia akan menangis, akan menjerit, meskipun bola mata sayup-sayup menahannya.
                Apakah kau tak berpikir akan keadaanku? Akan rapuhnya hidupku?
                Tentu tidak. Aku tahu itu faktanya. Kita berbeda, dari segi pemahaman, dari segi keyakinan, dari segi kepercayaan (bukan agama maksudnya). Namun, entah mengapa perbedaan yang dulu menjadikannya indah itu, sekarang bagai menjadi jurang pemisah. Curam, dalam, sedalam-dalamnya lengkungan di laut dalam yang paling terdalam.
                Andai, andai saat itu dikau langsung menghilang dari kehidupanku saat putus dulu, mungkin sakitnya hati tak akan seperih ini. Namun, dahulu saat aku ingin menenangkan diri, engkau datang dengan sejuta janji nirwana tanpa status, menjadikanku Putri Raja paling bahagia seantero buku dongeng. Aku tak menyalahkanmu saat itu, karena kutahu itu hakmu. Namun sekarang, aku betul-betul menyalahkanmu! Mengapa kau gantung perasaanku saat aku yakin kau memang tercipta untukku? Mengapa kau tak jujur padaku bahwa kau ingin aku pergi dari hidupmu? Mengapa kau mengatakan capek dikejar-kejar olehku yang aku sendiri di sini hanya diam? Arghhhh..... *mati*
                Filosofi cinta bergantung pada keyakinan. Namun, jika keyakinan yang katanya ‘hebat’ itu hanya diemban oleh satu pihak saja? Bukankah itu namanya bertepuk sebelah tangan?
                Ok, saya Nad dan inilah curcolan alay saya. Sekarang saya mengerti, cinta itu bukan narasi deskripsi belaka. Cinta itu memiliki daya untuk menjadikannya dilema, diorama rasa, dan melodi yang anggun. Namun, yang paling dibutuhkan dalam cinta selain keyakinan adalah kejujuran. Ya, andai kau jujur padaku, aku akan dengan ikhlas kau bersama dengan cewek jakarta di sana, meskipun hatiku menjerit. Namun itulah cinta. Cinta yang sudah tertancap dalam-dalam tidak akan mungkin tercabut dengan gampangnya. Saya tahu, dan saya mengerti. Kini, saya kembali dihadapkan pada satu pertanyaan yang enath kapan kadaluarsanya, masih pantaskah saya bertahan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak kamu dengan setidaknya mengeposkan sebuah komentar :)