Titttt....
“Halo, iya? Kenapa, Nad?”
“Abang, aku bermasalah lagi sama ummi dengan bapak!”
“Kok bisa? Ada masalah apa lagi?”
“Bapak sama ummi marah gara-gara semalam aku minta dibuatin pidato. Katanya jangan terlalu suka ngeribetin orang tua. Padahal, aku kira bakal direspon baik karena pidato itu buat lomba tingkat provinsi.”
“Kamu rada maksa, kali! Ingat Nad, apapun yang dikatakan ibu bapak kamu itu benar adanya. Apalagi kamu bilang pelajaran kamu sekarang lagi pada terlantar. Kan nggak lucu kalau kamu bisa juara 1 lomba pidato tingkat alam semesta terus nggak naik kelas!”
“Huh, abang masih sempat-sempatnya ngawur! Iya juga sih, bapak juga semalam bilang begitu.”
“Makanya Nad, kamu patut bersyukur punya orang tua kayak mereka. Yang bijaksana, yang protektif tingkat tinggi. Enak lo punya hidup terarah kayak kamu!”
“Tapi, Bang...”
Tit... tit... tit...
***
“Halo, iya? Kenapa, Nad?”
“Abang, aku bermasalah lagi sama ummi dengan bapak!”
“Kok bisa? Ada masalah apa lagi?”
“Bapak sama ummi marah gara-gara semalam aku minta dibuatin pidato. Katanya jangan terlalu suka ngeribetin orang tua. Padahal, aku kira bakal direspon baik karena pidato itu buat lomba tingkat provinsi.”
“Kamu rada maksa, kali! Ingat Nad, apapun yang dikatakan ibu bapak kamu itu benar adanya. Apalagi kamu bilang pelajaran kamu sekarang lagi pada terlantar. Kan nggak lucu kalau kamu bisa juara 1 lomba pidato tingkat alam semesta terus nggak naik kelas!”
“Huh, abang masih sempat-sempatnya ngawur! Iya juga sih, bapak juga semalam bilang begitu.”
“Makanya Nad, kamu patut bersyukur punya orang tua kayak mereka. Yang bijaksana, yang protektif tingkat tinggi. Enak lo punya hidup terarah kayak kamu!”
“Tapi, Bang...”
Tit... tit... tit...
***
Makassar, Mei 2008.
Matahari
bersinar amat terang ketika aku membuka mataku pagi ini. Cahaya keemasannya
begitu menyilaukan mata, membuat siapapun akan terpesona akan indahnya sang
raja pagi yang mulai meninggi. Hari ini aku masih tinggal di rumah Bunda
Hardina, teman se-profesi ibu waktu masih ngajar di Toraja. Sudah seminggu
kerjaku hanya bangun tidur, makan dan shalat setiap harinya.
Oh iya, aku belum bercerita. Perkenalkan, namaku Nadya. Lengkapnya Nahdliyati Nur Muhammad. Lahir di Bantaeng, sebelas tahun yang lalu. Aku siswi Sekolah Dasar No.5 Lembang Cina. Ya, satu-satunya sekolah standar nasional yang selangkah lagi menjadi RSBI di kota Bantaeng tercinta. Ayah dan ibu yang akrabnya kupanggil bapak dan ummi sangat overprotective dengan aku dan adikku, Umam. Selain itu, mereka berdua juga amat mengasah bakat kami, sehingga jadilah aku di sini selama hampir sepekan. Dititip di rumah kawan lama, dengan niat tulus berharap anak sulungnya menjadi juara lomba pidato se-Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Pesantren IMMIM Putra, Makassar.
Jumat yang lalu aku lolos babak penyisihan dengan ranking teratas. Dari hampir dua puluhan lebih peserta yang turut berpartisipasi, Alhamdulillah Allah memberikanku kesempatan untuk maju ke babak selanjutnya. Bersama dengan adik kelasku, Ryan kami berdua sangat antusias dengan lomba yang memperebutkan piala walikota itu. Meskipun semuanya diawali dengan rada-rada jengkel ketika kedua orangtua kami memaksa untuk mengikuti lomba tersebut, setelah pihak sekolah entah kesambet angin apa dengan gampangnya membatalkan pemberangkatan lomba. Maka jadilah kami berangkat hanya dengan ayah kami masing-masing, tentunya dengan BSS alias bayar sendiri-sendiri. Dan hari ini, tepatnya sebentar malam kami akan bertanding lagi dalam babak final. Harapan kami dalam hati hanya satu, semoga Allah kembali memberikan keberuntungan kepada kami, setidaknya supaya kedua orangtua kami tidak terlalu banyak berkicau gila lagi.
“Nadya, sudah makan nak?” Bunda Hardina bertanya padaku dengan nada datar. Kulihat peluh membasahi pelipisnya yang mulai tua. Ya, bundaku yang satu ini memang belum menikah. Padahal umurnya sudah melebihi lima puluh tahun. Katanya dia tidak mau menikah, dia hanya ingin membiayai keponakan-keponakannya untuk melanjutkan sekolah sampai lulus strata satu. Alhasil, sekarang Kak Akhsan Nugroho yang akrab kusapa Kak Accan sudah hampir menyelesaikan skripsinya jurusan pendidikan sastra Inggris di Universitas 45, tentunya dengan biaya dari hasil keringat tantenya yang perawan tua, Bunda Hardina.
“Sudah, Bunda. Tapi lagi haus nih!” Aku berkata dengan sok malu-malu. Maklum, meskipun lebih daripada saudara setelah tiga tahun tak bertemu pasti rasanya bakal janggal juga.
“Ambil air minum saja sana, di atas kulkas ada gelas. Oh iya, suruh Ryan makan juga. Entar kurusan lagi!” Bunda Hardina memberi perintah kepadaku. Sekejap aku kemudian beranjak menuju lemari pendingin di pojok ruangan. Sudah terlintas di otakku sebentar malam aku akan meraih piala besar bertittle walikota di atasnya. Belum lagi saat aku menyaksikan senyum merekah bapak dan ummi yang bangga akan keberhasilanku. Begitulah aku, aku orangnya over-optimis, yang pada akhirnya kuketahui juga bisa berdampak negatif terhadapku. Baru saja aku mencoba meraih gelas di atas kulkas, tiba-tiba gelas itu jatuh ke lantai dan pecah dengan sendirinya. Padahal aku belum sempat mengambilnya. Menyentuh angin-anginnyapun belum terasa. Sejenak aku panik, hatiku kalut. Jantungku berdegup kencang, amat kencang. Aliran darahku berdesir keras. Selain karena takut dimarahi Bunda Hardina dan disuruh untuk menggantikan, tak tahu mengapa ada suatu perasaan lain yang juga langsung saja hinggap di otakku, bagaikan merangsang beratus sel syaraf untuk berkontraksi secepat mungkin. Ada apa ini, Tuhan?
“Astaghfirullahaladzim. Nadya, ada yang berdarah?” Ketika aku mencoba memungut serpihan kaca hasil pecahan gelas tersebut, Bunda Hardina kemudian besungut-sungut menghampiriku dan membantuku membereskannya secepat yang ia bisa.
“Nggak ada, Bunda. Maaf ya, Bunda! Nadya gak sengaja.” Jawabku polos, sambil harap-harap cemas. Semoga saja kalimat ‘gantikan gelas ini!’ tak sempat terlintas di benaknya.
“Sudah, tidak apa-apa. Aduh, Bunda baru ingat. Cepat hubungi orangtuamu. Gak tahu kenapa Bunda gelisah dari tadi.” Aku terhenyak. Ya Allah, aku lupa! Hari ini kan bapak dan ummi berangkat dari Bantaeng untuk men-supportku sebentar malam! Ya Allah.... Aku linglung. Kepalaku pening. Dengan gemetaran kuraih handphoneku di atas meja. Kucoba menghubungi nomor ayah.
Tittttttt............
Lama tak ada jawaban.
Tittttttt...........
Belum ada jawaban. Ya Allah, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
“Coba sekali lagi, nak!” Bunda Hardina menyarankanku. Kucoba hubungi telepon genggam bapak sekali lagi.
Tittttttt............
“Assalamu alaikum, Iya? Ada apa, nak?” Kudengar suara ummi dari seberang sana. Entah mengapa, nadanya kali ini beda. Seakan meringis pelan, namun masih tetap disembunyikannya.
“Ummi kenapa, Ummi?” Tanyaku semakin khawatir.
“Tidak apa-apa kok nak, Ummi sama Bapak hanya kecelakaan kecil.” Kecelakaan? Sontak saja aku kaget bukan kepalang. Tak sanggup berkata apa-apa lagi, dengan mata berkaca-kaca kuserahkan handphone yang ada di genggamanku kepada Bunda Hardina. Au terduduk lesu. Tak kuketahui apa lagi yang diperbincangkan Ummi dengan Bunda Hardina. Ryan yang menatapku hanya bisa mengelus pundakku, pelan.
“Linda, usahakan datang. Anakmu di sini menunggu. Saya takut kalau kamu tidak bisa hadir semangatnya akan ciut.” Hanya kalimat itu yang sempat kudengar dilantunkan dari bibir Bunda Hardina yang juga kulihat amat resah yang tampak dari raut wajahnya. Padahal selama ini setahuku dia orangnya amat teguh.
Dua jam kemudian aku baru bisa tenang. Bunda Hardina, Kak Accan dan Ryan sedari tadi tak henti-hentinya menenangkanku. Mungkin sudah seember air mata yang tumpah siang ini dari mata sipitku yang semakin sipit. Bapak, ummi, bagaimana keadaan kalian?
Pukul 16.30 sore, sehabis azhar.
Kulihat sosok orang yang begitu kukhawatirkan sedari tadi berjalan menuju ke arahku. Tatapan mereka sayu. Di bawah rangkulan Kak Accan aku kemudian berlari menuju arah bapak dan ummi. Tangisku pecah, lagi. Kali ini lebih deras dari sebelumnya. Ummi kemudian memelukku seerat mungkin. Kulihat lututnya masih lengket, bekas minyak tawon yang mungkin diusapkan ketika dia terjatuh tadi. Bapak tetap merekahkan senyum, meskipun itu kecut sekali terasa.
“Iya, tadi kamu hampir saja tidak melihat bapak dan ummi lagi.” Bapak mulai menjelaskan ketika kami semua sudah terduduk letih di atas sofa ruang tamu.
“Sudahlah bapak, tidak usah diungkit!” Ummi melerai. Namun yang namanya bapak pastinya tidak akan berhenti sebelum titik darah penghabisan, sebelum selesai maksudnya. Akhirnya ia menceritakan keadannya tadi siang. Ketika tanpa unsur kesengajaan mereka terperosok pada lubang di tengah jalan depan Pertamina di Kota Jeneponto. Mereka berdua terlempar bersama dengan motor Jupiter keluaran terbaru yang dibeli ayah. Andai bukan atas kehendak Allah ataupun Malaikat Israil sudah siap mencabut nyawa mereka, mungkin mereka sudah tak bisa bersama-sama kami lagi. Untung saja jalanan saat itu sepi. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang, padahal biasanya mobil-mobil truk kelas kakap yang menjadi konsumer jalan provinsi tersebut. Aku masih terus, bahkan semakin memperderas air mataku. Ya Allah, terima kasih Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku!
Oh iya, aku belum bercerita. Perkenalkan, namaku Nadya. Lengkapnya Nahdliyati Nur Muhammad. Lahir di Bantaeng, sebelas tahun yang lalu. Aku siswi Sekolah Dasar No.5 Lembang Cina. Ya, satu-satunya sekolah standar nasional yang selangkah lagi menjadi RSBI di kota Bantaeng tercinta. Ayah dan ibu yang akrabnya kupanggil bapak dan ummi sangat overprotective dengan aku dan adikku, Umam. Selain itu, mereka berdua juga amat mengasah bakat kami, sehingga jadilah aku di sini selama hampir sepekan. Dititip di rumah kawan lama, dengan niat tulus berharap anak sulungnya menjadi juara lomba pidato se-Sulawesi Selatan yang dilaksanakan di Pesantren IMMIM Putra, Makassar.
Jumat yang lalu aku lolos babak penyisihan dengan ranking teratas. Dari hampir dua puluhan lebih peserta yang turut berpartisipasi, Alhamdulillah Allah memberikanku kesempatan untuk maju ke babak selanjutnya. Bersama dengan adik kelasku, Ryan kami berdua sangat antusias dengan lomba yang memperebutkan piala walikota itu. Meskipun semuanya diawali dengan rada-rada jengkel ketika kedua orangtua kami memaksa untuk mengikuti lomba tersebut, setelah pihak sekolah entah kesambet angin apa dengan gampangnya membatalkan pemberangkatan lomba. Maka jadilah kami berangkat hanya dengan ayah kami masing-masing, tentunya dengan BSS alias bayar sendiri-sendiri. Dan hari ini, tepatnya sebentar malam kami akan bertanding lagi dalam babak final. Harapan kami dalam hati hanya satu, semoga Allah kembali memberikan keberuntungan kepada kami, setidaknya supaya kedua orangtua kami tidak terlalu banyak berkicau gila lagi.
“Nadya, sudah makan nak?” Bunda Hardina bertanya padaku dengan nada datar. Kulihat peluh membasahi pelipisnya yang mulai tua. Ya, bundaku yang satu ini memang belum menikah. Padahal umurnya sudah melebihi lima puluh tahun. Katanya dia tidak mau menikah, dia hanya ingin membiayai keponakan-keponakannya untuk melanjutkan sekolah sampai lulus strata satu. Alhasil, sekarang Kak Akhsan Nugroho yang akrab kusapa Kak Accan sudah hampir menyelesaikan skripsinya jurusan pendidikan sastra Inggris di Universitas 45, tentunya dengan biaya dari hasil keringat tantenya yang perawan tua, Bunda Hardina.
“Sudah, Bunda. Tapi lagi haus nih!” Aku berkata dengan sok malu-malu. Maklum, meskipun lebih daripada saudara setelah tiga tahun tak bertemu pasti rasanya bakal janggal juga.
“Ambil air minum saja sana, di atas kulkas ada gelas. Oh iya, suruh Ryan makan juga. Entar kurusan lagi!” Bunda Hardina memberi perintah kepadaku. Sekejap aku kemudian beranjak menuju lemari pendingin di pojok ruangan. Sudah terlintas di otakku sebentar malam aku akan meraih piala besar bertittle walikota di atasnya. Belum lagi saat aku menyaksikan senyum merekah bapak dan ummi yang bangga akan keberhasilanku. Begitulah aku, aku orangnya over-optimis, yang pada akhirnya kuketahui juga bisa berdampak negatif terhadapku. Baru saja aku mencoba meraih gelas di atas kulkas, tiba-tiba gelas itu jatuh ke lantai dan pecah dengan sendirinya. Padahal aku belum sempat mengambilnya. Menyentuh angin-anginnyapun belum terasa. Sejenak aku panik, hatiku kalut. Jantungku berdegup kencang, amat kencang. Aliran darahku berdesir keras. Selain karena takut dimarahi Bunda Hardina dan disuruh untuk menggantikan, tak tahu mengapa ada suatu perasaan lain yang juga langsung saja hinggap di otakku, bagaikan merangsang beratus sel syaraf untuk berkontraksi secepat mungkin. Ada apa ini, Tuhan?
“Astaghfirullahaladzim. Nadya, ada yang berdarah?” Ketika aku mencoba memungut serpihan kaca hasil pecahan gelas tersebut, Bunda Hardina kemudian besungut-sungut menghampiriku dan membantuku membereskannya secepat yang ia bisa.
“Nggak ada, Bunda. Maaf ya, Bunda! Nadya gak sengaja.” Jawabku polos, sambil harap-harap cemas. Semoga saja kalimat ‘gantikan gelas ini!’ tak sempat terlintas di benaknya.
“Sudah, tidak apa-apa. Aduh, Bunda baru ingat. Cepat hubungi orangtuamu. Gak tahu kenapa Bunda gelisah dari tadi.” Aku terhenyak. Ya Allah, aku lupa! Hari ini kan bapak dan ummi berangkat dari Bantaeng untuk men-supportku sebentar malam! Ya Allah.... Aku linglung. Kepalaku pening. Dengan gemetaran kuraih handphoneku di atas meja. Kucoba menghubungi nomor ayah.
Tittttttt............
Lama tak ada jawaban.
Tittttttt...........
Belum ada jawaban. Ya Allah, aku hanya bisa menarik nafas dalam-dalam.
“Coba sekali lagi, nak!” Bunda Hardina menyarankanku. Kucoba hubungi telepon genggam bapak sekali lagi.
Tittttttt............
“Assalamu alaikum, Iya? Ada apa, nak?” Kudengar suara ummi dari seberang sana. Entah mengapa, nadanya kali ini beda. Seakan meringis pelan, namun masih tetap disembunyikannya.
“Ummi kenapa, Ummi?” Tanyaku semakin khawatir.
“Tidak apa-apa kok nak, Ummi sama Bapak hanya kecelakaan kecil.” Kecelakaan? Sontak saja aku kaget bukan kepalang. Tak sanggup berkata apa-apa lagi, dengan mata berkaca-kaca kuserahkan handphone yang ada di genggamanku kepada Bunda Hardina. Au terduduk lesu. Tak kuketahui apa lagi yang diperbincangkan Ummi dengan Bunda Hardina. Ryan yang menatapku hanya bisa mengelus pundakku, pelan.
“Linda, usahakan datang. Anakmu di sini menunggu. Saya takut kalau kamu tidak bisa hadir semangatnya akan ciut.” Hanya kalimat itu yang sempat kudengar dilantunkan dari bibir Bunda Hardina yang juga kulihat amat resah yang tampak dari raut wajahnya. Padahal selama ini setahuku dia orangnya amat teguh.
Dua jam kemudian aku baru bisa tenang. Bunda Hardina, Kak Accan dan Ryan sedari tadi tak henti-hentinya menenangkanku. Mungkin sudah seember air mata yang tumpah siang ini dari mata sipitku yang semakin sipit. Bapak, ummi, bagaimana keadaan kalian?
Pukul 16.30 sore, sehabis azhar.
Kulihat sosok orang yang begitu kukhawatirkan sedari tadi berjalan menuju ke arahku. Tatapan mereka sayu. Di bawah rangkulan Kak Accan aku kemudian berlari menuju arah bapak dan ummi. Tangisku pecah, lagi. Kali ini lebih deras dari sebelumnya. Ummi kemudian memelukku seerat mungkin. Kulihat lututnya masih lengket, bekas minyak tawon yang mungkin diusapkan ketika dia terjatuh tadi. Bapak tetap merekahkan senyum, meskipun itu kecut sekali terasa.
“Iya, tadi kamu hampir saja tidak melihat bapak dan ummi lagi.” Bapak mulai menjelaskan ketika kami semua sudah terduduk letih di atas sofa ruang tamu.
“Sudahlah bapak, tidak usah diungkit!” Ummi melerai. Namun yang namanya bapak pastinya tidak akan berhenti sebelum titik darah penghabisan, sebelum selesai maksudnya. Akhirnya ia menceritakan keadannya tadi siang. Ketika tanpa unsur kesengajaan mereka terperosok pada lubang di tengah jalan depan Pertamina di Kota Jeneponto. Mereka berdua terlempar bersama dengan motor Jupiter keluaran terbaru yang dibeli ayah. Andai bukan atas kehendak Allah ataupun Malaikat Israil sudah siap mencabut nyawa mereka, mungkin mereka sudah tak bisa bersama-sama kami lagi. Untung saja jalanan saat itu sepi. Tak ada kendaraan yang berlalu lalang, padahal biasanya mobil-mobil truk kelas kakap yang menjadi konsumer jalan provinsi tersebut. Aku masih terus, bahkan semakin memperderas air mataku. Ya Allah, terima kasih Engkau masih memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu dengan kedua orangtuaku!
Pukul 20.30, Pesantren IMMIM Putra
Makassar.
“Surga di telapak kaki ibu, itulah hadist Nabi Muhammad. Kalau kita berbakti padanya, di akhirat mendapat surga. Demikian pidato yang sempat saya sampaikan, unzur ma qaala wa laa tanzur man qala. Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara. Uzikum wa nafsih bitakwallah, tsumma assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kututup pidatoku malam ini dengan mata berkaca-kaca. ‘Berbakti Kepada Ke-2 Orangtua’, tema pidato yang dapat kusuguhkan malam ini. Entah mengapa, malam ini pembawaan pidatoku beda dari biasanya. Sedari tadi air mataku serasa ingin tumpah, karena masih sempat tertahan, jadilah mataku berkaca-kaca diterpa cahaya lampu yang temaram. Peserta dan penonton yang adapun ber-applause takjub akan pidatoku malam ini. Tiba-tiba, tak kusangka MC yang sedari tadi melucu di atas panggung memanggilku kembali naik.
“Waduh, dek Nadya matanya betul-betul berkaca-kaca. Tersentuh dengan pidatonya sendiri? Oh, kalau gitu gimana kalau kita panggilkan Bapak Ismail untuk naik ke atas panggung! Ayo dong Bapak, beri semangat anaknya!” MC yang lebih mirip aktor lawak itu memerintahkan bapak untuk naik ke atas panggung. Bapak sempat ragu, karena sang MC dengan entengnya meng-aqiqah bapak yang kedua kali dengan mengganti namanya. Masa dari Badwi menjadi Ismail! Kapan potong kambingnya? Aku hanya tersenyum dalam hati. Sepersekian menit kemudian bapak sudah ada di atas di panggung sambil menerima kaos putih dari MC tersebut. MC ‘abal-abal’ itu kemudian meminta bapak untuk memberikan sepatah-dua patah kata.
“Saya cuma mau bilang, saya sama ibu sayang sama kamu, nak! Kami bangga punya anak seperti kamu!” Bapak tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Dia hanya bisa menghapus bening air mata yang mengalir di pipinya. Aku terhenyak, diam membisu. Tiba-tiba saja bapak datang menghampiriku dan langsung memelukku kencang. Aku kembali menangis, lagi. Kulihat ummi di bawah sana juga berlinang air mata menyaksikan aku dan bapak yang sok dramatis di atas panggung. Benar-benar hari yang penuh dengan air mata.
***
“Surga di telapak kaki ibu, itulah hadist Nabi Muhammad. Kalau kita berbakti padanya, di akhirat mendapat surga. Demikian pidato yang sempat saya sampaikan, unzur ma qaala wa laa tanzur man qala. Lihatlah apa yang dibicarakan, jangan lihat siapa yang berbicara. Uzikum wa nafsih bitakwallah, tsumma assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh!” Kututup pidatoku malam ini dengan mata berkaca-kaca. ‘Berbakti Kepada Ke-2 Orangtua’, tema pidato yang dapat kusuguhkan malam ini. Entah mengapa, malam ini pembawaan pidatoku beda dari biasanya. Sedari tadi air mataku serasa ingin tumpah, karena masih sempat tertahan, jadilah mataku berkaca-kaca diterpa cahaya lampu yang temaram. Peserta dan penonton yang adapun ber-applause takjub akan pidatoku malam ini. Tiba-tiba, tak kusangka MC yang sedari tadi melucu di atas panggung memanggilku kembali naik.
“Waduh, dek Nadya matanya betul-betul berkaca-kaca. Tersentuh dengan pidatonya sendiri? Oh, kalau gitu gimana kalau kita panggilkan Bapak Ismail untuk naik ke atas panggung! Ayo dong Bapak, beri semangat anaknya!” MC yang lebih mirip aktor lawak itu memerintahkan bapak untuk naik ke atas panggung. Bapak sempat ragu, karena sang MC dengan entengnya meng-aqiqah bapak yang kedua kali dengan mengganti namanya. Masa dari Badwi menjadi Ismail! Kapan potong kambingnya? Aku hanya tersenyum dalam hati. Sepersekian menit kemudian bapak sudah ada di atas di panggung sambil menerima kaos putih dari MC tersebut. MC ‘abal-abal’ itu kemudian meminta bapak untuk memberikan sepatah-dua patah kata.
“Saya cuma mau bilang, saya sama ibu sayang sama kamu, nak! Kami bangga punya anak seperti kamu!” Bapak tak bisa lagi melanjutkan kata-katanya. Dia hanya bisa menghapus bening air mata yang mengalir di pipinya. Aku terhenyak, diam membisu. Tiba-tiba saja bapak datang menghampiriku dan langsung memelukku kencang. Aku kembali menangis, lagi. Kulihat ummi di bawah sana juga berlinang air mata menyaksikan aku dan bapak yang sok dramatis di atas panggung. Benar-benar hari yang penuh dengan air mata.
***
April, 2013.
“Iya, naskahmu sudah selesai, nak?” Ummi yang baru pulang dari ngajar langsung menghampiriku saat melihat aku sedang asyik memainkan notebook di ruang tengah.
“Hampir selesai, Ummi. Tinggal pidato kedua yang masih mau pembaharuan sedikit.” Aku tersenyum menatap ummi. Tubuhnya lelah, letih. Kentara sekali dari rautnya siang ini.
“Makanya, kalau bisa dikerja sendiri. Jangan selalu mengharap bantuan orangtua. Toh, kamu bisa sendiri. Masih mau kena marah-marahnya bapak lagi?” Ummi terkekeh pelan. Sejenak aku terdiam, masih dengan jari-jari yang terus beradu dengan keyboard notebook. Sedetik kemudian, tanpa unsur kesengajaan, lagi, aku melihat rok dinas ummi terangkat hampir mendekati paha. Kulihat sebuah berkas luka tepat di lututnya. Lo, luka yang mana ini?
“Oh, yang ini. Itu, waktu kamu masih kelas 5 SD. Waktu kamu pergi lomba di IMMIM Putra!” Ummi menjawab pertanyaanku, pelan. Ternyata luka lama itu masih membekas hingga sekarang. Tanda keabadian jasa dan pengorbanan bapak dan ummi kepadaku yang rela datang berjauh-jauh dari Bantaeng ke Makassar. Lima tahun silam. Pengalaman yang takkan terlupakan.
Ku shut down notebookku setelah sebelumnya telah menyimpan file pidato yang kukerjakan semalaman suntuk. Aku kemudian mendekati ummi, kupeluknya erat-erat. Setetes bening kembali berlinang di mataku. Ummi hanya bisa mengelus pelan rambutku yang kugerai. Semenit, dua menit. Aku kemudian berdesir dalam hati, “Abang, kamu benar! Aku patut bersyukur akan kehadiran mereka, karena mereka takkan pernah tergantikan. Terima kasih buat petuahmu abang!”. Waktu semakin berjalan. Menyisakan keheningan yang semakin hening di telan sepi dan sekali lagi, air mata yang juga turut membanjiri pelosok hati.
“Iya, naskahmu sudah selesai, nak?” Ummi yang baru pulang dari ngajar langsung menghampiriku saat melihat aku sedang asyik memainkan notebook di ruang tengah.
“Hampir selesai, Ummi. Tinggal pidato kedua yang masih mau pembaharuan sedikit.” Aku tersenyum menatap ummi. Tubuhnya lelah, letih. Kentara sekali dari rautnya siang ini.
“Makanya, kalau bisa dikerja sendiri. Jangan selalu mengharap bantuan orangtua. Toh, kamu bisa sendiri. Masih mau kena marah-marahnya bapak lagi?” Ummi terkekeh pelan. Sejenak aku terdiam, masih dengan jari-jari yang terus beradu dengan keyboard notebook. Sedetik kemudian, tanpa unsur kesengajaan, lagi, aku melihat rok dinas ummi terangkat hampir mendekati paha. Kulihat sebuah berkas luka tepat di lututnya. Lo, luka yang mana ini?
“Oh, yang ini. Itu, waktu kamu masih kelas 5 SD. Waktu kamu pergi lomba di IMMIM Putra!” Ummi menjawab pertanyaanku, pelan. Ternyata luka lama itu masih membekas hingga sekarang. Tanda keabadian jasa dan pengorbanan bapak dan ummi kepadaku yang rela datang berjauh-jauh dari Bantaeng ke Makassar. Lima tahun silam. Pengalaman yang takkan terlupakan.
Ku shut down notebookku setelah sebelumnya telah menyimpan file pidato yang kukerjakan semalaman suntuk. Aku kemudian mendekati ummi, kupeluknya erat-erat. Setetes bening kembali berlinang di mataku. Ummi hanya bisa mengelus pelan rambutku yang kugerai. Semenit, dua menit. Aku kemudian berdesir dalam hati, “Abang, kamu benar! Aku patut bersyukur akan kehadiran mereka, karena mereka takkan pernah tergantikan. Terima kasih buat petuahmu abang!”. Waktu semakin berjalan. Menyisakan keheningan yang semakin hening di telan sepi dan sekali lagi, air mata yang juga turut membanjiri pelosok hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tinggalkan jejak kamu dengan setidaknya mengeposkan sebuah komentar :)