Untuk Ibu

‘Alkisah ada seorang pemuda yang datang kepada gurunya, kemudian mengeluh tentang semua kejelekan ibunya. Mendengar hal itu sang guru lalu memerintahkan pemuda tersebut untuk menuliskan semua kejelekan ibunya di secarik kertas. Lalu ditulislah semua keburukan dan kejelekan ibunya tersebut, mulai dari ibunya sok tahu, pendengki, pendedam, suka menghina, dan bla bla bla. Setelah itu sang guru kemudian memerintahkan pemuda tersebut untuk menulis semua kebaikan ibunya. Tak lama berpikir, sang pemuda-pun mulai menulis lagi; sewaktu di perut ibu, sembilan bulan aku tak henti-hentinya menghisap darah ibu, saat itu beliau sangat lelah. Jangankan berjalan, berbaring-pun terasa sakit bahkan bernafas-pun sulit, dan seterusnya, dan sebagainya, dan lain-lain.
Lama menulis dengan penuh penghayatan, tak terasa berlinanglah air matanya. Ia mulai sadar bahwa apapun bentuk kejelekan ibunya tersebut, itu tak akan sebanding dengan apa yang telah ibunya lakukan terhadapnya.’



***

    “Immaa yabluganna indakalkibara ahad humaa au kilaahuma falaa taqullahuma uffiw walaa tanharhuma wa qullahumaa kaulan kariymaa’.”
    Sayup-sayup kudengar lantunan ayat yang begitu indah itu mengalir dengan syahdunya. Rasa tersentak hati untuk turut duduk diam dan mendengarkan sampai ayat itu selesai dibacakan, satu demi satu. Merdu, merdu sekali. Seakan memaksa hati terbuka dengan sendirinya. Memaksa pikiran untuk me-refresh sekali lagi. Rasa-rasanya aku terlena dalam irama senada yang menusuk jantung. Seandainya tak diteriaki oleh adikku, Fathur, mungkin aku masih tinggal melongo depan pintu sambil memasang ekspresi hambar.
    “Kak Lahil! Macuk! Fathul mau diajalin main game lagi! Ayo cepat kak!” Fathur berlari mendekatiku sambil memasang wajahnya yang tak bisa membuat aku tak pernah tak tersenyum. Imut, lucu, manis. Dengan lidah yang masih cadel alias belum bisa bilang ‘R’, ia kemudian menarik tanganku menuju kamarnya. Lelah sekali rasanya. Andai aku tak takut Fathur marah lagi padaku, mungkin sudah sedari tadi aku mengelak untuk tak mengajarinya main game Angry Bird, lagi.

    Beberapa menit mendudukkan bokongku di tempat tidur Fathur, aku lalu teringat lantunan Al-Qur’an tadi yang begitu khas terdengar. Siapa ya kira-kira? Batinku bergejolak. Rasanya ingin sekali aku menemui orang tersebut lalu meminta untuk diajarkan tadarrusan se-syahdu caranya. Tanpa pikir panjang lagi, aku langsung bertanya pada Fathur.
    “Dik, adik tahu siapa tadi yang baca Qur’an pas kakak baru datang?” tanyaku pelan sambil mencolek tangan kanannya yang lagi sibuk sedari tadi memainkan keyboard komputer.
    “Capa? Fathul nggak dengal kakak! Cudah, Fathul mau main lagi. Ok ok ok!” Fathur menjawab simpel dengan nada sok imut yang dibuat-buatnya. Aku sedikit terkekeh. Namun, meskipun itu dibuat-buat, ekspresi lucu layaknya yang dilakukkannya tadi itu sama sekali natural. Sedetik-dua detik kemudian Fathur kembali sibuk dengan game yang baru saja aku download dari internet tadi siang. Siapakah gerangan wanita yang tadarrusan kurang lebih sejam yang lalu itu? Apa mbok Sri? Aku kira dia pulang kampung kemarin dulu. Apa Kak Anis? Dia belum pulang kuliah. Apa itu, ibu? Ah, tidak mungkin! Wanita selaknat dia tidak mungkin bisa mengaji sebagus itu. Jangankan membaca Al-Qur’an, menyentuhnya saja sudah sangat menjijikkan baginya. Ah, sudahlah. Siapapun, itu tidak memberikan dampak apa-apa bagiku. Apa dia ibu atau malaikat sekalipun, aku tak peduli. Kalaupun dia malaikat, ya baguslah. Berarti rumah ini masih mendapat berkah dari Yang Kuasa meskipun hampir segunung dosa manusia mungkin sudah bersarang di dalamnya. Dan aku masih terus terkepung dalam rasa penasaran yang mendalam.

    Oh ayah, apakah roda kehidupan ini tak ingin berputar lagi dan hanya menempatkan aku, Fathur dan Kak Anis di bawah, terus?

***

    Tahu bagaimana rasanya hidup bahagia tapi menyedihkan? Ya, semua rasa sakit terpendam dalam hati dan terkubur serta terkucilkan secara paksa. Sakit yang membuat hidup tak tenang di tengah indahnya jalan yang membuat kita selalu terbuai untuk menuju ke pusaranya. Dan kau tahu, beginilah penderitaan yang kualami sepuluh tahun belakangan ini.

    My name is Rahil Afifah Afdaliah Ahmad. I was born in Pemalang, Nov 1st, at 18 years a go. I am a lonely girl who have one older sister and a younger brother. They are sister Nurul Annisa Afdaliah Ahmad and my beloved bro, Fathur Fadhillah Ahmad. A lot of us have so many differences, but at the fact... we are same, we don’t have place for sharing what there’s in our mind. Without a. We always keep smile, althought that moment just can make us confused. We always make laugh, althought we know it’s so sadly and badly celebrate. We always shut off, because we know no one can understanding the real fact which alive now. And, here we are.

    Kutulis catatan di atas sambil menghilangkan gerah keterlaluan yang tiba-tiba merasuki lapisan epidermis kulitku. Telapak tanganku basah. Pori-poriku terbuka lebar hari ini,mungkin. Dunia lagi panas-panasnya. Matahari merekah menampakkan sinar kemilau keemasannya yang menawan. Sayang, sinarnya hari ini merebahkan panas yang lebih dari standar. Nelaka lagi bocol, kata Fathur sambil mengipas-ngipas buku yang ada di tangannya. Heh, neraka lagi bocor. Betul juga. Mengingat dunia yang semakin tua ini, sudah wajar kalau jendela-jendela neraka sedikit terbuka dan menyibakkan api super-duper panas yang dimilikinya.

    Aku menyandarkan tubuhku di dinding. Teringat sesuatu, aku sontak saja menatap jam tangan yang dikirimkan Om Raihan sebulan yang lalu langsung dari London. Sudah pukul 14.15. Kak Anis belum datang juga. Dia belum pulang dari kemarin sejak meminta izin pada ibu untuk mengerjakan skripsi di rumah temannya. Bukan meminta izin layaknya anak gadis lain yang berucap dengan penuh kelembutan, Kak Anis yang keras hanya berkata kasar pada ibu. Membentak malahan. Setelah ibu melarangnya untuk pulang larut malam seperti biasanya, Kak Anis malah menambah volume suaranya sehingga ia terdengar berteriak padahal sebenarnya tidak. Kak Anis sekarang semakin menjadi gadis amburadul yang tak karuan. Selalu mengenakan rok mini dan dengan pedenya berani keluar rumah hanya dengan tank-top yang menutupi tubuh bagian atasnya yang bohai bukan kepalang. Berkali-kali aku menegurnya, ia hanya mengangguk dan satu-dua detik kemudian beranjak pergi meninggalkanku yang begong sendiri. Dulu kak Anis bukan anak gadis yang senakal itu. Dia selalu menutupi auratnya yang begitu molek, meskipun dia belum berani memutuskan untuk berhijab. Namun, setelah kejadian sepuluh tahun lalu itu... lima tahun kemudian Kak Anis sudah tidak bisa bertahan dengan persepsinya. Persepsi yang membuat begitu banyak kawan lain jenisnya menyimpan perhatian lebih padanya. Persepsi yang mengantarnya bisa menjadi siswi teladan se-kabupaten. Persepsi yang bisa membawanya masuk ke dalam fakultas HI yang sangat dibanggakannya. Tapi sayang, semua persepsi itu terbuang dengan cuma-cuma. Sia-sia, tepatnya.

    “Rahil, kamu sudah makan sayang?” Suara itu menyadarkanku dari lamunan yang melayang ke sepuluh tahun lalu. Suara selembut bidadari yang pada faktanya hanya membuat hatiku teriris-iris. Yang pada kenyataannya hanya membuat hari-hariku semakin tidak mood. Suara, yang telah mengubah semua kehidupanku yang begitu bahagia, yang telah membuat Kak Anis kehilangan persepsinya, dan yang telah membuat Fathur, adikku yang paling kusayang, terlahir di dunia yang begitu fana dan kejam ini. Itu, ibu.
    “Sudah.” Jawabku singkat sambil membuang muka di hadapannya.
    “Fathur mana? Apa dia sudah makan juga?” Ibu bertanya lagi dengan penuh kelembutan dan dengan wajah yang memelas.
    “Gak tahu.” Singkat, lagi. Aku sontak meninggalkan ibu yang terdiam membisu di depan pintu kamarku. Lamat-lamat kutatap wajahnya yang mulai mengerut. Huh, biarkan saja. Janda gatal laknat sepertinya tak perlu di beri belas kasih. Aku bergumam dalam hati.

***

    “Sudah. Stop! Ibu bisa berhenti marah-marah gak sih! Anis capek, lemes. Seharusnya ibu buatin makanan aja buat Anis. Ngomel mulu aja kerjanya!” Kak Anis membantah kecut saat emosi ibu naik ketika melihat ia baru datang. Ya, setelah tiga hari menunggu ternyata Kak Rahil pulang dengan gaya yang semakin menampakkan dirinya seakan gadis tak karuan, nakal, amburadul, bagai tak terdidik. Rambut acak-acakan, wajah kusut. Tak terlihat lagi aura sinar kecantikan dan kelembutannya sebagai seorang gadis ayah yang begitu dijunjung tinggi kehormatannya.
    “Anis, kamu anak gadis! Orangtua mana yang membiarkan anak gadis yang lagi berkembang-berkembangnya keluyuran tiga hari tak tahu ke mana? Orangtua mana? Jawab Anis! Tatap mata ibu!” Ibu mencapai emosi puncaknya. Matanya melotot menatap Kak Anis dalam-dalam. Kak Anis yang dipelototi malah balik menatap wajah ibu, tajam. Dan semakin tajam.
    “Ah, ibu! Please deh, berhenti memelas. Apa ibu tidak sadar, anak mana yang tidak malu melihat orangtuanya, iiiibunya... setiap malam pergi berkencan dengan om- yang tak diketahui statusnya sama sekali? Anak mana ibu! Anak mana! Aib yang sangat menyedihkan! Cuih!” Kak Anis meludah tepat di hadapan ibu. Untung saja air liur buah kemarahannya tidak sempat menyentuh kulit ibu yang putih dan sangat lembut, dan penuh dosa pula. Ibu terdiam, sejenak tangisnya langsung tumpah bagaikan langit yang tiba-tiba menurunkan hujan super derasnya sampai-sampai membuat kali Ciliwung banjir, lagi.
    “Nis... Kenapa, kenapa kamu semakin durhaka kepada ibu?” Di tengah isak tangisnya, ibu masih sempat-sempat bertanya kepada Kak Anis. Kutahu, hatinya terluka. Sangat terluka. Jika disuruh memilih, mungkin ibu lebih memilih untuk mati di banding mendengar kalimat Kak Anis tadi yang benar-benar membuat jantungnya serasa tertusuk dari belakang.
    Kak Anis pergi. Lalu dengan sedikit berlari menuju ke kamarnya. Pintu dibanding keras. Plak! Fathur yang tak kusangka sedari tadi berdiri di sampingku, menutup matanya lekat-lekat sambil sesekali berdehem ringan. Aku menoleh.
    “Fathur masuk kamar aja yah, kakak buatin susu dulu. Ok!” aku menyeringai. Fathur hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara, sedikitpun. Dia masih kaget, frustasi. Aku lalu mengusap ubun-ubunnya dan melangkahkan kaki menuju ke dapur.

    Ibu terduduk di atas dipan merah di ruang tamu. Matanya sembab. Terlihat berkas-berkas air matanya yang masih menetes, satu demi satu. Wajahnya merah padam. Sambil mengelap pipinya yang masih basah, ibu lalu mencoba untuk berdiri. Tegar. Aku memandanginya, masih dengan tatapan seperti dulu. Malu, jijik melihat seorang ibu yang telah kehilangan harga dirinya.
    “Rahil...” Ibu berkata miris. Aku yang berpura-pura berjalan tak acuh, kemudian menoleh saat kudengar ia menyebut namaku.
    “Apa?” Aku menjawab ketus. Ku tahu ini salah, sangat salah malahan. Namun, rasa kesal dan benci yang telah kupendam semenjak sepuluh tahun yang lalu tak bisa mengalahkan rasa iba yang terbersit secuil di hati.
    “Ibu... ibu...” Belum sempat ibu menyambung perkataannya, aku langsung memotong kalimat yang di awalinya dengan kata ‘ibu’. Kata yang agak memekakan telinga. Kata yang tak tahu selama sepuluh tahun ini begitu kubenci, bahkan kuanggap hina. Ibu, sebutan yang kuanggap sudah tak pantas lagi terpatri untuk orang sepertinya.
    “Aku mau buat susu dulu untuk Fathur.” Singkat. lalu aku berjalan melewatinya masih sambil memasang wajah sok tegar. Ibu masih memelas. Tubuhnnya lunglai. Tak lama ia pingsan tepat di dudukannya saat ini. Oh ayah, maafkan aku! Rasa kecewa yang berlebihan telah menutup erat-erat hatiku. Aku tahu ayah, aku salah. Namun ini aku lakukan agar wanita tua itu juga merasakan betapa pedihnya hatimu, dulu. Sepuluh tahun yang lalu.

 Aku melihatnya dari kejauhan. Biarlah. Siapa yang peduli!

***

    Aku hampir tak bisa menghembuskan nafas ketika ambulance rumah sakit yang berbunyi ‘liu liu’ itu memarkir onggokan besinya tepat di pekarangan rumah. Sejenak para tetangga berhamburan keluar rumah dan sontak berlari menuju ke rumahku. Ya Allah, siapa gerangan jasad yang berada di dalam mobil putih menakutkan itu? Kak Anis? Ibu? Atau, jangan bilang... Ayah! Badanku terhempas ke belakang. Untung saja ada tetangga sebelah yang sempat menimang bobot tubuhku. Ayah? Apa benar jasad kaku itu ayah? Tidak... tidak! Tidak mungkin! Ayah masih hidup. Tadi pagi saja aku masih sempat berpangku-pangku manja di pahanya. Tadi pagi saja aku masih sempat di suap dengan sesendok bubur ayam olehnya. Tadi pagi saja aku masih sempat curhat tentang Ipul, orang yang kusuka padanya. Tadi pagi saja aku masih... aku masih... . Argghhhhh! Tidak mungkin! Plak. Sekali lagi tubuhku terhempas ke belakang, dan sekali lagi untung ada tetangga sebelah yang berbaik hati memopang badanku dan membawaku masuk ke dalam kamar.

Tadi pagi sehabis aku, Kak Anis dan ayah bersenda gurau di ruang tengah.

Trrrrrrrrrrr.............................
    Ku dengar suara getar handphone dari dalam bilik kamar ayah dan ibu. Ayah yang mendengarnya juga ikut tersentak. Dia lalu memerintahkanku untuk mengambil handphone ibu sesegera mungkin. Akupun dengan sigap melangkahkan kaki kecilku menuju kamar ayah. Kulihat handphone ibu yang masih bergetar. Nomor baru. Aku heran. Siapa yah kira-kira? Sedetik aku lalu meneriaki ibu yang tak tahu entah dimana sekarang.  “Ibu..............”. Tak ada yang menyahut. Mungkin ibu lagi mandi. Pikirku dalam hati. Aku lalu membawakan handphone ibu yang masih saja bergetar kepada ayah yang sedang tertawa garing dan renyah bersama Kak Anis. Ayah melirik handphone tersebut. Nomor baru tanpa nama itu masih saja menelepon. Setelah menatap sekelumit sudut-sudut rumah, ayah lalu memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Tidak ada tanda-tanda ibu. Pikirnya. Kemudian...
    “Halo sayang, kita jalan hari ini yuk! Aku kira suamimu hari ini sedang keluar kota!” A? Siapa ini? Aku bertanya dalam hati. Ayah ternyata tak sengaja memencet tombol loudspeaker sehingga suara tersebut terdengar sangat jelas. Ayah heran. Wajahnya langsung saja merah padam. Raut Kak Anis mulai berubah cemas, lemas.
    “Siapa, Yah?” Kak Anis bertanya kepada ayah dengan keringat dingin yang entah mengapa bercucuran dengan sendirinya. “Hushhhh....!” Ayah hanya memberi isyarat untuk diam. Aku dan Kak Anis hanya menurut saja.
Ayah masih diam. Lalu membiarkan lelaki yang menelepon tadi itu untuk angkat bicara, lagi.
    “Sayang? Afadhillah? Mana kamu? Aku rindu sekali kepadamu. Terakhir kita jalan minggu lalu. Kali ini aku ingin mengajakmu ke motel dan kita bersenang-senang di sana. Kita BERCINTA! Afadhillah?” Suara itu konsentrasi mencari ibu. Mendengar kalimat-kalimatnya, aku tak begitu mengerti. Kulihat hanya Kak Anis yang mulai cemas bukan kepalang, sampai-sampai peluh mulai membasahi lehernya padahal ini masih pagi sekali. Masih dingin udara di luar sana.
    “Hei! Siapa kamu? Kenapa kamu mencari-cari istriku?” Suara ayah terdengar bergetar. Ayah marah, betul-betul marah. Dipikirannya, siapa orang ini? Mengapa dia mencari ibu dan mengatakan akan bercinta dengan ibu? Mengapa juga dia tahu kalau ayah akan dinas keluar kota hari ini!
Tittttttttttt..............
Teleponnya di matikan.

    Ayah dengan sigapnya langsung melangkah tegas masuk ke kamarnya. Didapatinya ibu yang baru saja selesai mandi hanya mengenakan kimono mandi seta sehelai handuk berwarna hijau. Prang! Handphone ibu dibanting kasar ke lantai, membuat semua bagiannya terpecah belah. Ibu kaget. Matanya melotot menatap ayah yang dikiranya marah tanpa sebab. Seperberapa menit kemudian kudengar ayah dan ibu bersilat lidah hebat. Bertengkar. Barang-barang yang ada dalam kamar terdengar pecah menjadi beberapa bagian. Ibu sesekali meringis dan membantah. Ayah tetap dengan suaranya yang bergetar. Marah menyala. Kak Anis hanya menuntunku menuju ke kamar. Tak berapa lama setelah itu, ku lihat ayah yang membanting pintu keras-keras dari balik selip pintu yang tak terkunci rapat. Aku sontak terkejut! Segitu teganyakah ayah kepada ibu? Padahal setahuku delapan tahun hidup di dunia ini ayah tak pernah sekalipun keras kepada ibu. Jangankan main tangan, berbicara kasar saja tidak pernah sama sekali. Namun, apa yang kulihat saat ini benar-benar jauh dari kesan ayah yang kukenal delapan tahun ini. Aku marah pada ayah. Aku marah. Sangat marah. Memang selama ini aku tumbuh menjadi seorang gadis kecil ayah, tapi ayah tak boleh seenaknya dengan ibu. Sampai-sampai menampar apalagi. Tapi di waktu sepelik ini aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa melantunkan desis doa miris di tengah pertengkaran hebat ayah dan ibu, yang pertama. Ya Allah, semoga ini menjadi pertengkaran yang pertama dan terakhir!

    “Hiduplah saja dengan mantan kekasihmu itu. Aku tak peduli! Aku mulai curiga, jangan-jangan Rahil itu juga bukan anakku, tapi hasil dari perselingkuhan kalian!” Ha? Ayah berkata kasar di depan pintu lalu langsung saja menancap gas motornya sekencang mungkin. Hiduplah saja dengan mantan kekasihmu itu. Aku tak peduli! Aku mulai curiga, jangan-jangan Rahil itu juga bukan anakku, tapi hasil dari perselingkuhan kalian! Bukan anak ayah? Tidak mungkin! Kalimat yang tak pernah kuduga itu membuat aku serasa langsung drop dan down. Tidak mungkin aku bukan anak ayah! Tidak mungkin! It’s impossible. Delapan tahun aku hidup di dunia ini hanya ayahlah orang yang selama ini mengerti akan semua keluh dan risauku. Hanya ayahlah yang selalu menemani perkembangan pertumbuhanku. Hanya ayahlah yang selalu menghapus air mataku ketika kesedihan datang menghampiriku. Hanya ayah. Ibu saja hanya selalu sibuk dengan kariernya. Jangan Ya Allah, jangan! Aku ini anak ayah. Ayahlah satu-satunya penyemangatku selama ini.
    Tanpa sadar kalimat yang telah dilantunkan ayah lebih dari sepuluh menit yang lalu itu membuat aku tersadar. Tak tahu mengapa, di sinilah semua rasa benciku bermula. Rasa benci yang sangat. Rasa benci yang mulai menggumpal menjadi gunung yang amat tinggi dan jurang yang amat dalam. Rasa benci, rasa benci, rasa benci kepada ibu.

    “Rahil, ikhlaskan kepergian ayah. Biarkan dia beristirahat dengan tenang!” Kak Anis menghapus air mataku. Sore. Pemakaman Islam. Sepi. Sunyi. Senyap. Matahari sudah ingin kembali ke kediamannya dengan menampakkan cahaya kemerah-merahannya yang malu-malu. Aku masih berdiri di depan pusara ayah. Menatap seonggok tanah merah yang baru saja digemburkan. Semua pelayat sudah pulang duluan, menyisakan aku dan Kak Anis dengan mata sembab. Ibu yang mungkin sudah kering air matanya kemudian berjalan ke arah kami.
    “Rahil, Anis, ayo kita pulang!” Ibu memegang pundakku. Aku menyeringai dan melepaskan sentuhan tangannya dari pundakku.
    “Aku masih kangen sama ayah. Semua ini karena ibu, jadi ibu jangan ganggu aku dulu.” Tak tahu mengapa aku langsung merangkai kata-kata sedewasa itu. Ibu yang mendengarnya sedikit menghela nafas. Lalu, butir-butir lembut kembali menghiasi pipinya yang amat mulus.
    “Ibu pulang duluan saja. Biar Anis yang jagain Rahil.” Kak Anis lalu memerintahkan ibu untuk pulang duluan. Ibu awalnya tak mau, namun setelah di bujuk sekali lagi oleh Kak Anis, ibu kemudian mengangguk dan membuka payung hitamnya, kemudian beranjak meninggalkan kami. Kulihat ibu berjalan keluar kompleks pemakaman. Punggungnya kemudian menghilang di balik pagar hijau tinggi pemakaman.
    “Kak, kenapa ayah bisa meninggal?” Aku bertanya kepada Kak Anis sambil terisak-isak.
    “Itu sudah ajal, Rahil. Kita tak bisa berbuat apa-apa. Meskipun kakak sendiri rasanya belum ikhlas dengan kepergian ayah.” Kak Anis menjelaskan perlahan. Sambil sesekali mengelus pundakku dan mencium ubun-ubunku.
    “Tapi, bagaimana ayah bisa kecelakaan? Dimana itu ter.. terjadi?” Lagi, aku bertanya masih dengan terisak. Kak Anis yang mendengar ucapanku lalu menatap lekat-lekat wajahku dengan amat dalam.
    “Ayah kehilangan kendali saat mengendarai motor. Kau tahu kan tadi pagi ayah dan ibu bertengkar hebat? Nah, saat ayah akan ke rumah nenek tiba-tiba saja motornya menghantam batu yang cukup besar di pinggir jalan sehingga tubuhnya dan motornya ikut terlempar sampai ke tengah jalan.” Kak Anis menjawab dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Di momen-momen seperti ini ternyata Kak Anis masih bisa membendung banjiran bulir lembut di pelupuk matanya. Mendengar hal itu, aku lalu membenamkan kepalaku ke dalam dada Kak Anis. Tangisku semakin tumpah. Kurasakan sebening tetesan air mengalir di pipiku. Kak Anis akhirnya menangis.

    Sore itu tiba-tiba saja matahari bersembunyi di balik kelamnya awan. Gerimis mulai membasahi area pekuburan. Kak Anis menjunjungku pulang masih sambil merangkulku dari sebelah kanan. Ayah, selamat tinggal. Beristirahatlah dengan tenang di sana!

    Ternyata doaku pagi tadi benar-benar terkabulkan. Pertengkaran pertama dan terakhir. Sayangnya, yang pertama dan terakhir itu tak sesuai yang diharapkan. Malah yang pertama dan terakhir itu yang mengantarkan ayah kembali kepada Yang di Atas.

***

    Aku bangun telat. Fathur yang tidur di sampingku masih mengorok dengan gaya khasnya yang imut. Kudengar suara piring di dapur mulai berisik. Mungkin Mbok Sri sudah kembali dari kampung. Setelah kornea mataku terbuka lebar-lebar, aku lalu beranjak meninggalkan tempat tidurku dan berjalan menuju ke kamar Kak Anis. Biasanya jam segini Kak Anis belum bangun.

    Tok tok tok, ku ketuk pintu kamar Kak Anis beberapa kali. Tak ada respon. Capek menunggu aku kemudian mengegedor-gedor pintu kamarnya. Masih tak ada respon. Aku menghembuskan nafas. Memelas.
    “Anis sudah berangkat ke kampus sejak jam tujuh tadi.” Suara serak itu mengangetkanku. Siapa dia? Aku berbalik 180 derajat. Seorang laki-laki paruh baya kulihat sedang berdiri tegak di depanku. Apa lagi ini? Mengapa begitu banyak kejutan di pagi yang cerah ini? Sudah makanan di dapur telah siap sedia, padahal Mbok Sri ternyata belum datang. Sudah Kak Anis yang tumben-tumbenan sekali berngkat cepat ke kampus. Setahuku itu terakhir kali dilakukannya lima tahun yang lalu. Lalu, siapa lagi laki-laki yang seumuran dengan ayah yang sedang berdiri dengan pedenya tepat di depanku ini? Ah, apa ini! Apa ini hanya mimpi. Aku mencubit pipiku. Sakit. Ini bukan mimpi rupanya.
    “Siapa kau?” Aku bertanya dengan sedikit geregetan. Kupalingkan wajahku. Aku menunduk. Aku tak terbiasa bertatapan dengan laki-laki secara langsung. Laki-laki itu berdehem ringan, kembali memperdengarkan suaranya yang serak sebagai kodratnya menjadi seorang adam.
    “Dia ayah kamu, Rahil!” Suara yang satu lagi kembali mengangetkanku. Suara yang begitu kukenal. Penuh dengan kelembutan. Suara yang selalu saja mengiris hatiku selama sepuluh tahun belakangan ini. Ibu.
    “Ha?” Aku hanya bisa berkata HA sambil menampakkan ekspresi penuh kegagalan. Ayah? Sejak kapan ada yang bisa menggantikan kedudukan ayah di rumah ini? Aku mengepalkan tanganku menahan emosi berlebih. Hampir saja kutonjok wajah ibu yang terlihat menunduk di depanku. Aku berdalih. Memicingkan mata kepada dua orang di hadapanku yang menganggap mereka sudah terikat hubungan suami istri. Pernikahan sakral. Yang menurutku sakral hanya dari pihak mereka sendiri. Tidak padaku.

    Aku masih terdiam. Memandang dua orang di depanku ini dengan tatapan menjijikkan. Menatap mereka dalam-dalam dan sangat lekat, sampai-sampai aku hampir saja berhasil menemukan pupil dan iris di balik kornea mata mereka berdua.
    “Rahil?” Suara lembut itu mengucap lirih namaku. Ibu bertanya.
    “Apa maksud dari semua ini?” Aku menjawab dengan beralih memberikan pertanyaan. Suaraku berat. Tak tahu kenapa. Rasanya aku sangat ingin menumpahkan semua air mataku. Bukan karena ibu kawin lagi, tapi karena ada orang asing yang dengan gampangnya berani mengambil tahta ayah sebagai kepala keluarga di rumah ini, meskipun beliau telah tiada.
    “Rahil, ibu... ibu menyesal.” Kalimat menjijikkan yang perdana dikatakan ibu padaku, semenjak sepuluh tahun yang lalu.
    “Karena apa?” Aku kembali merespon dengan memberikan pertanyaan.
    “Mungkin kamu tak pernah menduga hal ini, tapi sadarilah... ayahmu telah tiada. Dia telah meninggal!” Ibu menekan suaranya pada kata ‘meninggal’
    “Lantas, mengapa kalau ayah telah meninggal? Lantas ibu dengan gampangnya menikah lagi tanpa sepengetahuan kami dan menyia-nyiakan cinta ayah yang telah ia tanam dalam-dalam sedalam lubuk hatinya? Iya?” Aku mulai bereaksi. Nada suaraku mulai berkontraksi agak kasar.
    “Meskipun aku sendiri bukan anak kandung ayah, tapi aku lebih mencintai dan menyayangi ayah daripada ibu. Karena rasa cintaku pada ibu memang sudah lenyap semenjak sepuluh tahun yang lalu!” Ibu tersentak. Kaget mendengar kata-kataku yang cukup dramatis. Laki-laki yang belum kuketahui namanya itu juga ikut-ikutan kaget. Sejenak air mata ibu kemudian membanjiri pipinya yang mulai mengerut.
    “Kamu anak ayah! Siapa yang bilang kamu bukan anak ayah! Kamu anak kandung ayah. Dan kamu tahu, laki-laki yang berdiri di depanmu ini... dia.. dia adalah AYAH KANDUNG FATHUR!” Plak! Wajahku serasa tertampar dengan sendirinya. Ayah kandung Fathur? Aku tahu memang Fathur bukanlah saudara kandungku. Aku tahu Fathur memang terlahir enam tahun setelah kepergian ayah. Aku tahu Fathur itu di adopsi karena ia memiliki banyak kesamaan dengan ayah. Matanya yang sebiru berlian seperti mata orang Belanda, hidungnya yang mancung, alisnya yang tebal, bibirnya yang tipis. Semua sama dengan ayah. Karena itu, kami tetap memberinya marga ‘Ahmad’ di belakang nama lengkapnya. Tapi, mengapa ibu berkata bahwa laki-laki itulah ayah Fathur? Bahkan ibu berkata bahwa laki-laki itu adalah suaminya! Aku semakin tak mengerti dengan segala yang terjadi pagi ini.
    “Apa.. apa maksud ibu?”
    “Rahil, maafkan ayah. Ayahlah yang telah membuat ayahmu meninggal. Ayahlah yang telah menelepon pagi itu. Pagi di sepuluh tahun yang lalu. Ayahlah yang telah menghancurkan semua kebahagiaanmu dengan ayahmu. Ayah tahu ayah salah. Ayah tahu. Ibumu sama sekali tak pernah berselingkuh di belakang ayahmu. Ayah berkata demikian pada ayahmu agar ayah bisa kembali memiliki ibumu, sama seperti ketika masa-masa putih abu-abu kami bertamu di usia remaja yang bahagia. Tak pernah sedikitpun terbersit di benak ibumu untuk menduakan ayahmu yang jelas-jelas diketahuinya sangat menyayangi dia sepenuh jiwa dan raga. Ayah salah.” Apa? Apa aku tak salah dengar? Ah, semua semakin rumit pagi ini.
Aku masih dalam kediamanku.
    “Ibu dan ayahmu sebenarnya telah menikah lima tahun yang lalu.” Apa lagi ini? Benar-benar kejutan yang mengejutkan.
    “Jangan sebut dia ayahku. Ayahku tetap ayah, ayahku tetap ayah Ahmad!” Suara parau. Tercekik. Wajahku semakin merah padam.
    “Jadi, Fathur?” Aku menyambung kalimatku lagi dengan sebuah pertanyaan yang sangat kurang jelas.
    “Ya, dia anak aku, Rahil. Dia buah rasa sayangku yang telah kupendam semenjak putus dengan ibumu, waktu SMA dulu. Dia, dia adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan kepada kami berdua.” Laki-laki gila itu merangkul pundak ibu. Menjijikkan!
    “Selama ini ibumu bekerja keras banting tulang agar kalian bertiga bisa hidup layak. Dia lebih sibuk pada kariernya agar kalian bisa menjadi bagian dari biosfer yang lebih baik. Meskipun kalian berpikir bahwa hidup kalian tak seindah ketika ayah kalian masih hidup, namun itulah yang dilakukan ibu kalian. Bekerja banting tulang tak kenal lelah, sehingga kakakmu bisa sampai pada semester akhir di jurusan Hukum Internasionalnya dan kau bisa duduk di bangku kuliah dengan jurusan yang sangat mengagumkan, kedokteran. Ibu kalianlah yang membayar semua biaya kuliah kalian. Itu semua bukan relasi maupun beasiswa. Aku tahu kalian adalah anak-anak yang pandai, namun ketahuilah kalian tak bisa menjadi seperti ini tanpa kerja keras ibu kalian. Ibu kalian menyembunyikan hal ini agar kalian tak berhenti menempuh pendidikan, karena ibu kalian tahu... kalian pasti tak ingin menerima belas dari orang yang kalian anggap telah membunuh ayah kalian sendiri.” Aku serasa ingin menutup telinga rapat-rapat. Ucapan lelaki itu tak tahu dengan gampangnya ku respon dengan tangisan. Rahil, jangan lemah! Mereka berdualah yang telah membuat ayahmu meninggal! Batinku memberontak.
    “Tapi, di mana.. di mana keberadaan ibu saat kami membutuhkan kasih sayang dari orang yang telah melahirkan kami? Di mana ibu? Di mana?” Aku akhirnya merespon dengan sedikit rontaan.
    “Ibumu sebenarnya selalu ada untukmu, namun itu semua dia tampakkan dengan memberikan semua apa yang kalian butuhkan. Dengan semua apa yang kalian inginkan. Selama ayahmu masih hidup ayahmu tak pernah bekerja sekeras yang ibumu lakukan. Aku pikir kau tahu sendiri, Rahil. Ayahmu hanya lulusan SMA. Dengan ijazah yang bisa di bilang di bawah standar itu, bukan tidak mungkin kalau ia susah untuk mendapatkan pekerjaan. Namun, karena rasa cinta ibumu yang terlanjur tumbuh sejalan dengan berjalannya rumah tangga mereka, ibumu dengan relanya bekerja lebih dari ibu-ibu lain pada umumnya yang hanya bekerja di dapur. Kau mendapatkan segala kasih dan sayang dari ayahmu, itu supaya semuanya berjalan adil. Kau mendapat kehidupan layak dari ibumu dan kau juga mendapat kasih sayang yang cukup dari ayahmu. Rahil, mengapa kau begitu menutup hati kecilmu?” laki-laki itu memelas.  Sok sekali cara bicaranya. Batinku kembali berkecamuk. Mengapa rasa iba itu semakin membahana di langit-langit hatiku? Apa iya semua yang dikatakan laki-laki paruh baya yang tiba-tiba membuat penampakan dalam rumah ini benar? Rasanya kata-kata yang dihaturkannya tadi itu cukup tersirat maknanya. Oh ayah, adegan apa lagi ini?
    “Sudah. Sudah Mas Syaiful! Jangan menghakimi Rahil seperti itu. Rahil tak salah.” Ibu angkat bicara setelah telinganya mungkin sudah cukup panas mendengar ceramah lelaki yang akhirnya kuketahui bernama Mas Syaiful itu.
    “Tidak, Afadhillah. Aku tidak menghakiminya. Aku hanya ingin dia sadar kalau selama ini kau tidak pernah membiarkan semuanya berjalan dengan percuma. Aku tahu sudah sepuluh tahun ini kau memendam semuanya. Cukup, Afadhillah! Berhentilah makan hati sendiri. Anakmu sudah besar. Sudah dewasa. Dia sudah harus tahu semuanya.” Syaiful ini begitu cerewet rupanya. Mata ibu berkaca-kaca, menahan tangis.
    “Tapi, apa ibu masih ingat lima tahun lalu? Ketika ibu meninggalkan aku dan Kak Anis hanya berdua di rumah ini? Ketika semuanya harus kami jalani sendiri? Ketika ibu tiba-tiba saja hilang tanpa jejak dan kembali ke rumah ini setahun kemudian? Apa ibu ingat betapa terlantarnya kami? Apa ibu ingat? Satu tahun, Bu! Satu tahun!” Aku meminta kepastian. Nada bicaraku cukup meyakinkan ternyata untuk membuat mata ibu merembeskan air mata bening penuh haru.
    “Ibu, waktu itu ibu...”
    “Ibu menikah waktu itu, Rahil. Dari pernikahan itu akhirnya ibu mengandung Fathur. Itulah selama setahun ibu tak pulang-pulang ke rumah sampai akhirnya lahirlah Fathur.” Belum sempat ibu melanjutkan bicaranya sampai titik, tiba-tiba muncul sesosok gadis di depan pintu. Kak Anis.
      “Apa maksud semua ini? Apa maksud semua ini, kak? Apa maksud semua ini, Bu?” Aku memandangi mereka berdua satu persatu. Kak Anis menunduk, Ibu juga menunduk.
      “Jawab!” Aku berteriak. Teriakanku akhirnya mengagetkan mereka dan membuat mereka terbangun dari tundukannya.
       "Aku sudah tahu itu, Rahil. Kau tahu mengapa lima tahun ini aku berubah? Karena ibu memutuskan sesuatu yang menurutku sangat mengiris hati. Baik itu hatiku, apalagi kau yang begitu dekat dengan ayah. Telah seribu kali aku memaksa ibu untuk jujur kepadamu karena pastinya kau sudah dewasa dengan sendirinya. Namun ibu masih tetap dengan tekadnya untuk tidak memberitahumu dengan dalih agar kau tidak kecewa. Hingga akhirnya pada hari ini Om Syaiful sendiri yang meminta ketegasan dari ibu melihat kau begitu memandang ibu dengan sebelah mata, sama sepertiku.” Kak Anis bercerita. Dia mulai ketularan penyakit cerewet dari lelaki yang dipanggilnya dengan Om syaiful itu. Matanya sembab. Sama seperti mata ibu saat ini. Hatiku bergemuruh. Mengapa semua menyembunyikannya padaku? Lima tahun!
    “Rahil...” Ibu menaikkan anak rambutku. Aku diam, dan masih tetap diam.
    “Masih ada lagi?” Aku mulai angkat bicara.
    “Sepertinya hatimu belum tersentuh, Rahil.” Syaiful yang kucap ‘cerewet’ itu kembali mengeluarkan suara seraknya.
    “Rahil, kakak sudah sadar. Selama ini kakak salah pada ibu. Semalam kakak tak bisa tidur nyenyak mengingat semua yang telah kakak perbuat pada ibu, sepuluh tahun belakangan ini. Aku tahu, kau tdak semudah itu menerima semuanya. Ini semua tidak semudah membalikkan telapak tangan. Seminggu ini kakak selalu dihantui perasaan bersalah. Kakak juga baru tahu kalau Om Syaiful-lah pembuat onar dari semua masalah kita selama ini. Namun Om Syaiful telah membayar semuanya. Buktinya, kau tetap dapat melanjutkan kuliahmu. Dan uang yang kau gunakan itu tak lain adalah uang hasil keringat ibu dan Om Syaiful.” Kak Anis menjelaskan, lagi. Aku masih tetap dengan mata berkaca-kaca. AKU BELUM MAU MENANGIS!

    Lama terasuki arwah ‘diam’, tiba-tiba saja Kak Anis memelukku erat-erat. Aku heran. Aku berkaca-kaca, tapi air mataku belum mau kuhamburkan. Aku merasakan kehangatan itu. Kehangatan saat terakhir kali Kak Anis memelukku di depan makam ayah, sepuluh tahun yang lalu.
    “Rahil, kau tahu, saat kau dilahirkan dulu, umurku saat itu sudah menginjak lima tahun. Aku sudah mulai mengerti bahasa apa yang tersirat dari lingkungan sekitar. Tengah malam, pukul dua dini hari itu ayah meminjam mobil kepada tetangga sebelah untuk mengantar ibu ke rumah sakit. Ibu hampir kehilangan kau waktu itu. Air ketubannya sudah pecah sejam sebelum ia berangkat ke rumah sakit. Sakit sekali kulihat waktu itu. Daster yang dikenakannya sudah dipenuhi darah. Andai ibu pingsan, kau mungkin tak bisa lahir di dunia ini. Namun, ibu tetap mencoba kuat menahan semua rasa sakit yang ada. Ibu tak bisa berdiri. Duduk juga terasa sakit. Saat berbaring saja ibu tak berhenti meringis. Sesampai di rumah sakit ternyata kau tak bisa terlahir dengan normal. Kakimu berada di tempat keluarnya kepala. Ibu tak hentinya meringis dan menangis. Dari luar kamar ICU aku mendengar ibu menahan semua sakitnya. Aku sendiri saja sangat miris melihatnya. Keputusan terakhir, ibu harus di operasi sesar. Ibu dengan terpaksa melakukan hal yang tak pernah terpikirkan itu. Lima jam kemudian, akhirnya kami mendengar tangisan pertamamu. Kami sangat bahagia mendengarnya. Namun, setelah kau terlahir ternyata ibu pingsan setelah menahan semua lelah. Andai tak tersadar lebih dari sejam, mungkin kau sudah terlahir dengan anak berstatus piatu!” Kak Anis berkata lirih di samping telingaku, masih sambil mendekapku erat-erat. Cukup, cukup! Aku tak bisa lagi menahan bening di pelupuk itu. Banjir membasahi pagi yang penuh dengan kebenaran dilema.

    Aku berlutut di kaki ibu. Sambil terisak, aku memeluk kaki ibu erat-erat. Air mataku seakan tak mau habis. Kutumpahkan semua peluh dan perasaan yang telah kupendam sepuluh tahun belakangan ini. Ibu menyentuh kepalaku lalu mencium ubun-ubunku. “Rahil, bangun nak!” Ibu memerintahkanku untuk berdiri. Aku masih mendekap di antara kedua kakinya. Ibu memegang pundakku dan perlahan mengangkatku untuk bangun.
    “Ibu, Rahil... Rahil...”
    “Sudah nak, sebelum engkau meminta maaf ibu sudah memaafkan hal tersebut. Kau tidak salah. Ibu yang salah. Maafkan ibu!” sudah jelas-jelas ibu tak salah, malah ia yang meminta maaf. Begitu murahnya hati wanita yang dulu sering kusebut wanita laknat itu, nauzubillah! Aku kemudian memeluk ibu seerat yang kubisa. Ibu menghapus air mata yang mengalir di pipiku. Rahil, dosa macam apa yang telah kau perbuat selama ini? Durhaka kepada ibu yang telah melahirkanmu dengan susah payah?
    Kak Anis yang melihat kami berpelukan juga mengambil tempat. Ia turut tenggelam dalam pelukan hangat yang telah sepuluh tahun tak pernah kami rasakan. Ibu menaikkan anak rambut kami berdua lalu kembali mencium jidat kami satu persatu.
    “Kalian semua telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Ibu sangat bangga. Kalian seperti ayah kalian yang pengasih dan murah hati. Ibu bangga, bangga sekali!” Ibu berkata sambil menatap mata kami lekat-lekat. Syaiful yang telah kupanggil om itu hanya tersenyum menatap kami yang masih larut dalam keharuan mendalam.

    Rahil, sepuluh tahun kau menutup pintu hatimu hanya untukmengharapkan sesuatu yang tak pernah bisa terjadi lagi. Mengharapkan ayah yang sangat kau sayangi untuk kembali bernafas dan hadir di tengah-tengah kesepianmu. Sepuluh tahun kau sengaja membutakan mata hatimu untuk mengubah semua takdir yang jelas-jelas harus kau jalani dan kau perbaharui untuk lebih baik, sampai-sampai kau melupakan kewajiban utamamu sendiri untuk berbakti kepada orang yang telah melahirkan kau ke dunia yang begitu indah ini, seakan-akan orangtuamu hanya satu, hanya ayah, padahal kau masih memiliki ibu yang mestinya lebih kau muliakan dibanding ayahmu yang telah pergi! Rahil....
Masih dalam keheningan mendalam, akhirnya Fathur menangis sejadi-jadinya karena baru bangun dan mendapati tak ada seorangpun di sampingnya.

Pagi yang cerah.

***

    Pagi ini indah. Indah sekali. Meski tak secerah kemarin, namun pagi kali ini jauh lebih bernuansa harmoni dibanding pagi-pagi yang telah lewat. Pagi setelah sepuluh tahun yang lalu.

    Seusai tadarrusan bersama, ibu memanggil kami satu persatu dan mencium pipi kami. Wajahnya sendu menawan. Di umur yang sudah tak lagi muda ini, aura kecantikan dan kelembutannya tetap terpancar. Pantas saja Om Syaiful, maksudku ‘ayah’ Syaiful jatuh cinta setengah mati pada ibu sampai harus menunggu bertahun-tahun hanya untuk dapat kembali menjadi milik ibu. Saat tadarrusan tadi, tak terasa air mataku kembali berlinang. Aku teringat terakhir kali aku mendengar suara yang sangat merdu dan syahdu itu ketika aku baru pulang kuliah dan Fathur meminta untuk diajari main game lagi, sebulan yang lalu kalau tidak salah. Suara yang melantunkan ayat suci Al-Qur’an dengan hikmatnya. Suara yang benar-benar membuat aku terpana waktu itu, dan ternyata itu adalah suara ibu. Ya, ibu! Aku begitu takzim mendengar ibu tadarrusan di hadapanku. Ibu, betapa aku telah menorehkan luka di hatimu!

***

    “Oh ayah, bagaimana kabarmu di sana? Kami di sini sangat merindukanmu. Kau tahu, kami sekarang sudah berbaikan lagi. Kuharap kau juga demikian. Aku baru sadar, ayah. Aku baru sadar bahwa apapun keburukan yang telah dilakukan ibu kita, itu tidak akan sebanding dengan pengorbanan apa yang telah ia perbuat kepada kita. Sepuluh tahun itu membuat aku benar-benar merasakan bagaimana realita hidup yang sebenarnya, ayah. Ayah, kami rindu padamu. Doakan kami agar bisa kembali menjalani masa-masa gilang gemilang seperti dulu. Kau tak akan terganti, ayah. Tak akan pernah. Meskipun sudah ada yang menggantikan tahtamu, namun kami akan selalu menemptkan kau di tempat yang paling istimewa. Di sini, di hati kami. Oh iya, ayah, ibu titip salam padamu. Ia juga sangat rindu akanmu.”
    Aku meletakkan sekuntum mawar merah di atas pusara ayah. Matahari mulai redup. Tinggal cahaya oranye yang tersisa di langit. Aku melangkahkan kaki kecilku keluar dari area pekuburan. Sepuluh tahun yang lalu adalah tragedi, dan dalam sepuluh tahun itu begitu banyak pelajaran yang dapat dipetik hikmahnya. Salah satunya yaitu untuk selalu berbakti kepada ibu. Sepuluh tahun yang akan datang, semoga akan lebih baik dan lebih bermanfaat. Amin.

***

‘Seorang pemuda datang kepada Rasulullah saw lalu bertanya. Ya Rasulullah, siapa orang yang harus kuperlakukan dengan baik? Rasulullah menjawab: IBUMU. Kemudian siapa lagi ya Rasulullah? Rasulullah menjawab: IBUMU. Kemudian bertanya lagi, siapa lagi ya Rasulullah? Rasullulah masih tetap menjawab: IBUMU. Kemudian siapa lagi? Baru akhirnya Rasulullah menjawab: AYAHMU.’
#H.R Bukhari Muslim

Apapun keburukan yang telah dilakukan ibu kita, itu tidak akan sebanding dengan apa yang telah ia perbuat kepada kita. Untuk ibu, terimalah permohonan maaf dari anakmu yang tidak tahu diuntung ini. Terimalah semua pemberian kasih dan sayangnya, meskipun itu tidak pernah dan tidak akan sebanding dengan semua pengorbananmu.

Pangkep, 22 November 2012.

Kupersembahkan untuk ummiku yang ada di rumah. Salam sayang dari anakmu yang masih bersifat kekanak-kanakan ini. Terima kasih atas semua tulus cinta yang abadi. Terima kasih telah memberi kehidupan yang cukup sistematis. Terima kasih telah dengan ikhlasnya membuat aku dapat merasakan indahnya dunia yang fana ini. Terima kasih untuk semua ‘peraturan’ berharga yang dulu sempat kuanggap sebagai kekangan. Terima kasih. Allah merahmatimu :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

tinggalkan jejak kamu dengan setidaknya mengeposkan sebuah komentar :)